Cermin Retak
(Ilustrasi; pixabay)
Saya mendekapnya hangat, merasakan lebih dalam hangat nafas dan detak jantung. Menyelam isi kepala hingga carut marut batin yang perlahan tenang. Bola mata yang untuk kesekian kalinya memerah dengan pipih berlinag butir bening. Dalam dan tenang. Ditariknya nafas dengan udara yang seakan menjadi yang terakhir, melepasnya pergi dalam diam.
Banyak waktu telah pergi, hari yang menghilang dan tertinggal dalam benak hingga tanpa jejak bak setapak bekas di bibir pantai. Waktu adalah terfana yang pergi tanpa ampun membawa kita makin dekat pada kematian. Entah mati sebagai akhir atau sebuah awal, kita punya hati dan kepala yang tidak habis berdebat soal hidup. Saya disini yang menatap kedepan seperti penderita rabun jauh, masa depan adalah sebuah kepastian dalam remang fokus, harap adalah nafas.
Kuberpulang, dalam empuk bahu yang lama kulepas. Menjadi penghianat atas berjuta ujung ratap dan komitmen yang sudah kami bangun. Sering kita pergi, lalu melupakan. Bahkan banyak ruang pengabaian atas hadir tanpa pamrih. Kusekah matanya yang memerah. Mata panda itu tak lagi bisa dipoles, ujung malam berteman sejuta resah telah berhasil melukisnya dengan sempurna. Mungkin bukan Cuma dia, tapi berjuta mata yang tenggelam dalam lelah dan bibir melukis senyum yang kadang membuatku kecut hati tuk membalas. Tak jarang setiap kita sibuk melukis mimpi hinggah berlatih mengahdap luka dalam imagi. Menumpuk beban dari soal kita yang belum tuntas hingga dunia yang tanpa peduli soal malam yang pergi sekedar nafas dalam angina lalu.
Dihadap cermin retak yang hampir menjadi sampah saya tersenyum kecut. Menatap lekat pada mata yang berada pada titik pasrah. Setelah banyak nanti, kini akhirnya ku berpulang. Ia…pada aku yang telah sekian lama kutinggalkan. Saya benci pada senyum yang menabur tipu pada sudut bibir, dasar hati yang pandai mendekap kasih dalam diam meski ia terus tercabik. Kini untuk kesekian kalinya kami menatap, namun aku berada pada puncak paling menjijikan dalam nanar tatap. Sejenak ku bergetar hebat, lututku melemas tak mampu menopang berat tumbuh. Saya terduduk kaku di atas penutup toilet duduk, menatap kosong hingga menyatu pada kaku dan kerasnya tembok dihadapanku.
Pukul 00;00, tepat di hari Kasih sayang. Hampa dan kosong. Detik demi detik waktu, udara itu makin terasa, masuk dan mengisi tiap rongga paru-paru. Detak jantung yang perlahan pelan, aku mendekapnya dalam diam. I love You, bisik larah menghadir tenang.
Entah berapa banyak hati yang terajam, banyak ruang dalam sudut gelap berteman dengan luka, menekuk lutut dan terus bernafas dalam harapan, tersenyum palsu dan berpura-pura semuanya berjalan baik adanya. Bicara kisah, kita punya jalan yang berbeda. Soal luka dan tawa kita masing-masing punya daftar. Menghargai tiap ide yang paling absurd sekalipun adalah bagaian mendekap diri–diri yang lain. Di bawah langit dengan berjuta cerita, terima kasih untuk masa lalu, hari ini dan masa depan.
Berpulang pada diri sendiri setelah banyak pergi adalah sebuah keharusan. Valentine bukan Cuma dalam relasi antar pribadi, bagimana kita merajut kisah dengan tubuh berbeda jika dalam satu saja kita bahkan belum punya niat saling mendekap? Kadang mengukur diri jauh lebih tenang, berkata jujur soal rasa hingga meratap. Kita akan tetap menjadi kita yang berharga, meski tak jarang di mata orang kita bukan apa-apa. Bugiku Mencinta dengan tulus, berkata jujur meski sakit, berjuang hinggah tuntas adalah soal prinsip. Jalan kadang muluk bagi ego tapi menghancurkan. Kita diremuk untuk kemudian dibentuk. Usia boleh tua, raga boleh kekar, apa artinya kita dengan tumbuh dalam kerdil hati. Kadang bangun hingga di penghujung pagi jauh lebih baik dari nyenyak dengan nafas tanpa tuan.
“Selamat mencinta hinggah diujung waktu,
masa depan adalah kepastian,
tetap bertekun dalam butir-butir pengharapan.
meski terkadang Terjer-jer. hehehhe”.
Komentar
Posting Komentar