Perempuan, Kapitalisme dan Patriarki dalam Pusaran Pandemi.
Pandemi menghantar peradaban dalam
akselerasi globalisasi, siap atau tidak kita dipaksa berlari lebih
cepat. dalam industrialisasi kapitalis perempuan dan laki-laki punya
peluang yang sama dieksploitasi atau terlempar dari ruang kompetisi. Yang
menjadi penimbang hanaya akumulasi modal serta kontribusi pada laba yang
diperoleh. Tempat tidur perempuan dalam pusaran kapitalis mengalami
tekanan yang berbeda, dimana ada pintu lain yang mesti didobrak lebih keras
dari laki-laki. Kehadiran kapitalis yang tidak mengakui kemanusiawian
manusia yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan yang
kemudian berakibat pada termarginalkan perempuan dalam kehidupan
ekonomi. Hal ini sangat berpengaruh pada bagaimana ruang-ruang dominasi
terhadap perempuan menjadi lebih besar termasuk terbawa dalam ruang politik.
Selama masa pandemi perempuan menjadi korban yang
lebih rentan dari laki-laki. Diantara kerja keras industrialisasi
kapitalis serta himpitan patriarki perempuan pada rajaman yang
bertubi-tubi. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan oleh
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak pada Juli 2020 tentang
penilaian dampak Covid 19 dimana kehadiran pandemi telah memperparah kerentanan
ekonomi perempuan dan ketidaksetaraan gender di Indonesia. Temuan di lapangan
banyak perempuan di Indonesia yang berasal dari usaha keluarga, tetapi 82% di
antaranya mengalami penurunan sumber pendapatan. Meskipun 80% laki-laki
juga mengalami penurunan, mereka mendapatkan keuntungan lebih banyak dari
sumber pendapatan. Sejak pandemi, Sebanyak 36% pekerja informal harus
mengurangi waktu kerja berbayar mereka dibandingkan laki-laki yang hanya 30%
yang mengalaminya. Pembatasan sosial telah membuat 69% perempuan dan 61%
laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan rumah
tangga. Angka tersebut menunjukkan perempuan memikul beban terberat,
mengingat sebanyak 61% perempuan juga menghabiskan lebih banyak waktu untuk
mengasuh dan mendampingi anak dibandingkan dengan laki-laki yang hanya
48%. Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kesehatan mental dan emosional
perempuan. Hal ini disebabkan karena 57% perempuan yang mengalami
peningkatan stres dan akibat akibat peningkatannya beban beban rumah tangga dan
pengasuhan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta mengalami kekerasan
berbasis gender.
CY Marselina Nope dalam buku jerat Kapitalis Terhadap Perempuan, Kapitalis menjadi pisau bermata dua bagi patriarki, dimana laki-laki selalu punya ruang dominasi yang lebih besar terhadap perempuan. Dalam relasi dengan kapitalis maka akan menimbulkan dampak positif atau dengan kata lain melanggengkan patriarki ketika laki-laki berkompetisi dalam ruang produksi tanpa mempertimbangkan kedirian perempuan sehingga perempuan berada pada posisi di bawah. Dimana yang menjadi tolak ukur hanya tingkat produktivitas. Disisi lain akan berdampak negatif ketika kehadiran kapitalis yang cenderung buta gender kemudian memberikan ruang kompetisi yang sportif yaitu juga diimbangkan dengan pemberdayaan perempuan sehingga kemampuan perempuan menunjuk diri akan berbanding terbalik dengan ruang dominasi patriarki. Meski pada kondisi tertentu konstruksi pikir kapitalis malah menghantar perempuan pada titik lupa bahwa ia adalah perempuan. Kebebasan yang kemudian malah merajam kemerdekaannya sendiri. Dalam pusaran pandemi sebagian aktifitas kembali dilakukan atau berpusat di rumah. Hal ini akan memberikan beban ganda terhadap perempuan, selai harus produktif di dunia kerja juga memiliki beban beban kerja rumah tangga. Hal ini kemudian memiliki kemungkinan besar perempuan karir diperhadapkan pada masalah berikut yaitu pemutusan hubungan kerja hingga kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini akan memberikan beban ganda terhadap perempuan, selai harus produktif di dunia kerja juga memiliki beban beban kerja rumah tangga. Hal ini kemudian memiliki kemungkinan besar perempuan karir diperhadapkan pada masalah berikut yaitu pemutusan hubungan kerja hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Menjadi Perempuan tidak selalu mudah, setelah sekian banyak orang yang berusaha bangkit setelah sekian banyak pintu dan rintangan yang mesti didobrak tidak jarang pada akhirnya perempuan malah diperhadapkan oleh rajaman karena kemerdekaan yang telah menjadi pilihan bahkan telah diperjuangkan. Menjadi bebas tidak bisa sebebas bebasnya, karena kita selalu membangun oleh kita dan lingkungan. Hal yang tidak jarang ditemukan bagaimana perempuan yang berusaha sampai di titik menjadi perempuan yang rasional, berusaha mengunjuk rasa diri dengan berkompetisi hingga menjadi subjek yang produktif dalam kehidupan pribadi maupun publik perempuan malah diperhadapkan dengan rasa teralienasi dari kediriannya yang secara kuadrat ia dibentuk dengan perasaan keibuan serta selalu terikat pada ruang sosialisasi.
Hidup dan dibesarkan dalam dunia yang
didesain orang lain yang sukses, hal yang mudah, baik bagi laki-laki atau
perempuan. Realitas kehidupan manusia mendorong lahirnya kesadaran
sosial. Matinya kritis atau rasionalitas berujung pada hidup yang kemudian
berjalan seperti sebuahitas tanpa tersemat makna yang kemudian memberi nilai
lebih pada setiap waktu yang akan menjadi kenangan. Ditengah rajaman
kapitalis dan patriarki dalam pusaran pandemi, saatnya mempererat gandengan
tangan. Perempuan dan laki-laki tidak akan lepas dari sisi buruk kapitalis
selama belum mampu hadir secara solider dalam ruang produksi kapitalis paling
kecil yaitu keluarga. Menerima kedirian yang utuh satu sama lain adalah
jalan pembuka. Menghadirkan kesetaraan sehingga rumah menjadi tenpat untuk
berpulang bukan tempat tinggal orang yang sepakat untuk menghabiskan waktu di
bawah atap yang sama dengan diri mereka masing-masing. Pandemic
mengajarkan kita soal kefanaan manusia. Komunikasi menjadi penting dan
berkembang tenaga dalam ruang refleksi menjadi penting.
Hadirnya kesadaran akan kedirian yang utuh baik
laki-laki maupun perempuan akan memampukan kita lebih jauh dari kita
masing-masing yang baik baik yang ditentukan maupun hadirnya
penerimaan. So are so woman with the awareness social of the use of begitu
banyak ketimpangan tidak kemudian mendorong kita untuk menyalahi laki-laki
namun lebih pada konstruksi gender yang hadir. Melawan patriarki bukan
menghadirkan perempuan yang kemudian menghubungkan laki-laki atau membentuk
perempuan yang maskulin yang malah kemudian menimbulkan ketimpangan yang
baru. Pada akhirnya yang terjadi bukan musnahnya ketimpangan, namun
pelanggengan dengan pergantian pemain.
Dari segi kebijakan publik sangat penting
untuk memberi perhatian lebih terhadap perempuan yang menjadi korban yang
paling rentan dari setiap ketimpangan. Kebijakan betul-betul perlu hadir
dengan keberpihakan yang setara antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam
setiap pengambilan kebijakan selama masa pandemi. Pendekatan gender menjadi
dasar pertimbangan dari setiap analisis kebijakan, serta bagaimana pemberdayaan
perempuan terus berlanjut sehingga bisa memiliki ketahanan dan mampu
berkompetisi di antara tekanan kapitalis dan patriarki dalam pusaran pandemi
yang masih akan terus berlanjut dalam beberapa waktu kedepan.
Komentar
Posting Komentar