Dilema Menjadi Perempuan

 


 

Berada dalam pusaran perubahan yang sering dianggap sebagai kemajuan ataupun kemunduran  menuntut kita menjadi bagian dengan beradaptasi atau tergerus oleh perubahan itu sendiri.  Kemajuan sering kali memiliki standar umum yang kemudian mematikan nalar kritis peradapan mulai dari ide pembangunan hingga standar normative seorang individu.  Perlu menggali lebih dalam soal kedirian yang sebenarnya menjadi bagian dari target kita masing-masing, setidaknya kemudian menjadi akar bagimana berdiri di atas dunia yang tak pernah menjadi statis dan diperhadapan dengan berbagai gempuran perubahan. Dalam dunia dengan tsunami kemajuan teknologi yang pesat dengan tawaran segala instan yang dimiliki menghatar kita pada generasi  yang dipaksa keras untuk beradaptasi atau sekedar berselancar sebagai pasar empuk kapitalis. Kehadiran pandemic tak jarang menghantar kita menjadi generasi rebahan, terombang ambing di antara seliweran muatan dunia dalam genggaman. Kehadiran kita sebagai bagain dari peradapan global tidak terlepas dari indutrialisasi kapitalis.

Pandemic menghantar peradapan  dalam akselerasi globalisasi, siap atau tidak kita dipaksa berlarih lebih cepat.  dalam indutrialisasi kapitalis perempuan dan laki-laki punya peluang yang sama diekploitasi atau terlempar dari ruang kompetisi. Yang menjadi penimbang hanaya akumulasi capital serta kontribusi pada laba yang diperolah. Bedanya perempuan dalam pusaran kapitalis mengalami tekanan yang berbeda, dimana ada pintu lain yang mesti didobrak lebih keras dari laki-laki. Kehadiran kapitalis yang tidak mengakui kemanusiawian manusia  menempatkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan yang kemudian berakibat pada termarginalnya perempuan dalam kehidupan ekonomi. Hal ini sangat berpengaruh pada bagaiman ruang-ruang dominasi terhadap perempuan menjdai lebih besar termasuk terbawa dalam ruang politik.

Selama masa pandemik perempuan menjadi korban yang lebih rentan dari laki-laki. Diantara dorongan keras industrialisasi kapitalis serta himpitan patriarki menghantar perempuan pada rajaman yang bertubi-tubi. Hal ini dibuktikan dengan survey yang dilakuakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Juli 2020 tentang Menilai Dampak Covid 19 dimana kehadiran pandemic telah memperparah kerentanan ekonomi perempuan dan ketidaksetaraan gender di Indonesia. Temuan di lapangan Banyak perempuan di Indonesia yang bergantung dari usaha keluarga, tetapi 82% diantaranya mengalami penurunan sumber pendapatan. Meskipun 80% laki-laki juga mengalami penurunan, mereka mendapatkan keuntungan lebih banyak dari sumber pendapatan. Sejak pandemi, sebanyak 36% perempuan pekerja informal harus mengurangi waktu kerja berbayar mereka dibandingkan laki-laki yang hanya 30% mengalaminya. Pembatasan sosial telah membuat 69% perempuan dan 61% laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Angka tersebut menunjukkan perempuan memikul beban terberat, mengingat sebanyak 61% perempuan juga menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh dan mendampingi anak dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 48%. Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan. Hal ini disebabkan karena  57% perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan akibat bertambahnya beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta mengalami kekerasan berbasis gender. Sedangkan jumlah laki-laki yang mengalami permasalahan tersebut yaitu 48%.

C. Y. Marselina Nope dalam buku jerat Kapitalis Terhadap Perempuan, Kapitalis menjadi pisau bermatadua bagi patriarki, dimana laki-laki selalu punya ruang dominasi yang lebih besar terhadap perempuan. Dalam relasi dengan kapitalis maka akan mengadirkan dampak positif atau dengan kata lain melanggengkan patriarki ketika laki-laki berkompetensi dalam ruang produksi tanpa mempertimbangkan kuadrat kedirian perempuan sehingga perempuan berada pada posisi dilemahkan. Dimana yang menjadi tolak ukur hanya tingkat produktifitas. Disisi lain akan berdampak negative ketika kehadiran kapitalis yang cenderung buta gender kemudian memberikan ruang kompetisi yang sportif yaitu juga diimbangkan dengan pemberdayaan terhadap perempuan sehingga kemampuan perempuan mengunjuk diri akan berbanding terbalik dengan ruang dominasi patriarki. Meski pada kondisi tertentu konstruksi pikir kapitasil malah menghantar perempuan pada titik lupa bahwa ia adalah perempuan. kebebsana yang kemudian malah merajam kemerdekaannya sendiri. Dalam pusaran pandemi sebagian aktifitas kembali dilakuakan atau berpusat di ruamh. Hal ini akan memberikan beban ganda terhadap perempuan, selai harus produktif di dunia kerja juga memiliki tambahan beban kerja mengurus rumah tangga. Hal ini kemudian memiliki kemungkinan besar perempuan karir diperhadapkan pada masalah berikut yaitu pemutusan hubungan kerja hingga kekerasan dalam rumah tangga.

Menjadi perempuan tidak selalu mudah, setelah sekian banyak jatuh dan berusah bangkit setelah sekian banyak pintu dan rintangan yang mesti didobrak tidak jarang pada akhirnya perempuan malah diperhadapkan oleh rajaman karena kemerdekaan yang telah menjadi pilihan bahkan telah diperjuangkan. Menjadi bebas tidak bisa sebebas bebasnya, karena kita selalu dibatasi oleh kedirian kita maupun oleh lingkungan. Hal yang tidak jarang ditemukan bagaimana perempuan sudah berusaha sampai dititik menjadi perempuan yang rasional, berusaha mengunjuk diri dengan berkompetisi hingga menjadi subjek yang produktif dalam kehidupan privat mapun publick perempuan malah diperhadapakan dengan rasa teralienasi dari kediriannya yang secara kuadrat ia dibentuk dengan perasaan keibuan serta selalu terikat pada ruang sosialisasi.

Menjadi perempuan maupun laki- laki yang dibesarkan dalam dunia disainan orang lain bukanlah suatu hal yang mudah.  Realitas kehidupan manusia mendorong hadirnya kesadaran sosial. Matinya daya kritis atau rasionalitas berujung pada hidup yang kemudian berjalan seperti sebuah rutinitas tanpa tersemat makna yang kemudian memberi nilai lebih pada setiap waktu yang akan menjadi kenangan. Ditengah rajaman kapitalis dan patriarki dalam pusaran pandemic, saatnya mempererat gandengan tangan. Perempuan dan laki-laki tidak akan lepas dari sisi buruk kapitalis selama belum mampu hadir secara solider dalam ruang produksi kapitalis paling kecil yaitu kelurga. Menerima kedirian yang utuh satu sama lain adalah jalan pembuka. Menghadirkan kesetaraan sehingga rumah menjadi tenpat untuk berpulang bukan tempat tinggal orang yang kebetulan sepakat untuk menghabisakn waktu di bawah atap yang sama dengan diri mereka masing-masing. Pandemic mengajarkan kita soal kefanaan manusia. Mengambil jedah dan menggalih tenag dalam ruang refleksi menjadi penting.

Hadirnya kesadaran akan kedirian yang utuh baik laki-laki mapun perempuan akan memampukan kita melihat lebih jauh diri kita masing-asing yang hendak dibentuk. Sehingga menjadi perempuan dengan kesadaran sosial yang hidup diantara begitu banyak ketimpangan tidak kemududian mendorong kita  untuk menyalahi laki-laki namun lebih pada konstruksi gender yang hadir. Melawan patriarki bukan menghadirkan perempuan yang kemudian membenci laki-laki atau membentuk perempuan yang maskulin yang malah kemudia menimbulkan ketimpangan yang baru. Pada akhirnya yang terjadi bukan musnahnya ketimpangan, namun pelanggengan dengan pergantian pemain.

 Dari segi kebijakan publik sangat penting untuk kemudian memberi perhatian lebih terhadap perempuan yang menjadi korban yang paling rentan dari setiap ketimpangan. Kebijakan betul-betul perlu hadir dengan keberpihakan yang setara antara laki-laki maupun perempuan, teutama dalam setiap pengambilang kebijakan selama masa pandemic. Pendekatan gender menjadi basis pertimbangan dari setiap analisis kebijakan, serta bagaimana pemberdayaan perempuan terus berlanjut sehingga bisa memiliki ketahanan serta mampu berkompotisi di antara tekanan kapitalis serta patriarki dalam pusaran pandemic yang masih akan terus berlanjut dalam bebrapa waktu kedepan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cermin Retak

PANDEMI BAYANGAN

Kemerdekaan yang Terikat.