Bonus Kebinatangan

 


Sebuah Review

Manusia dalam realitasnya sebagai mahluk ciptaan Tuahan dipandang sebagai mahluk paling mulia. Manusia hidup dengan nilai dan norma yang sudah ditanamkan sejak dia melangkah dan berpacu dalam ruang interaksi dengan lingkungan di luar dirinya. Kehadiran nilai dan norma menghantarkan pada keteraturan kehidupan manusia dalam ruang interaksi. Selain itu ada peraturan yang ikut mengatur kehidupan manusia baik sebagai indvidu maupun dalam realitasnya sebagai bagian dari suatu bagsa atau perdaban dunia.

            Indonesia merupan suatu negara hukum. Dimana supremasi hukum harus selalu ditegakan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai langkah gerbakan telah dilakukan pemerintah mulai dari amandemen, revisi, tinjauan ulang hingga pembentukan lembaga-lembaga penegakan hukum dengan harapan akan memperbaiki kinerja hukum.  Perlu diakui bahwa sebagian kasus besar di negeri ini adalah hasil konspirasi tanpah setitik celah yang tersisah untuk solusi. Tak jarang implikasi kehadiran hukum hanya bagian dari mimpi tak berujung atau setumpukan harapan berujung luka bagi sejuta rakyat Indonesia. Begitu banyak kasus yang bisa dibilang misterius dan fulgar di mata masyarakat menguap tanpa bekas. Peraturan kerap dibuat untuk kepentingan golongan, dibuat dengan cerdik hingga celah selalu ada mulai dari melanggar hingga meloloskan diri.

            Tak sedikit bukti yang menunujukkan mati surinya hukum di negeri ini. Ini menunjukkan begitu banyaknya kasus yang tidak bisa tuntas tanpa ada gebrakan lain selain jalan kostitusi. Ada banyak hal yang membatasi gerakan konstitusi dalam posisinya sebagai instrumen penegak keadilan. Lantas apahkah jalan lain yang harus diambil?

            Esensi politik adalah kekuasaan. Bagaiaman seorang politikus berjuang dengan segala sumber daya hingga cara untuk merebut kursi kekuasaan. Integritas diri kerap menjadi modal untuk mendulang kekuasaan. Namun integritas pada hakekatnya bukannlah sebuah perkara muda yang bisa digapai dengan cara gamblang. “ada seribu jalan menuju Roma”, begitu pula menghadirkan integritas. Semakin cerdiknya manusia berpikir, integritas kini hanya masalah sepeleh yang bisa dipoles dengan sedikit sentuhan pencitraan. Masyarakat yang didukung oleh memori yang pendek akan rekam jejak serta pendidikan yang bisa dibilang dalam bayang-bayang anagan kerap menjadi korban imagologisme.

            Eduardus Lemanto mengatakan, sifat primordial manusia bahwa dirinya seringkali didorong hasrat-hasrat hewani selain dorongan hasrat kemanusiaannya. Manusia pada dasarnya adalah perpaduan antara animalitas dan umanitas. Hal ini didasari oleh perilaku manusia yang didorong oleh dua tendensi yakni perilaku hewani dan manusiawi. Menurut Plato ada 3 dorongan utama dalam diri manusia yaitu epitumia, yaitu lambang nafsu rendahan atau kebutuhan bilogis manusia, thumos, hasrat untuk bersikap berani, dan Philosophia, hasrat akan kebijaksanaan dan keberanian. Semua dorongan tersebut merupakan modal yang bisa digunakan secara proporsioanal. Dalam konteks politik kekuasaan yang prima justru lahir dari perpaduan tendensi hewani dan manusiawi. Euforia umanitas kerap menyelubungi animalitas. Padahal dalam prakteknya animalitas sering kali menjadi determinan. Tendensi animalitas bukanlah sebuah hal buruk yang meseti dijadikan alergi, namun suatu yang perlu diolah menjadi sebuah peluang. Ketika hukum tak lagi bisa diandalkan cara politik yaitu dengan menggunakan kekuasaan merupakan salah satu cara yang bisa diggunakan untuk meredam dan merajam sejuta patologi yang kerap megusik bahkan mengusir nyaman dari kehidupan masyarakat.

            Situasi mati surinya hukum di negeri ini, membenarkan apa yang yang disampaikan tokoh yang kerap dipandang manusia bertampang setan  yaitu Niccola Macchiavelli, seseorang harus bisa menjadi rubah yang jelih melihat perangkap dan singa yang mampu menakutkan serigala. Seorang pemimpin harus memiliki nafsu kebinatangannya untuk berkuasa agar dia mampu mempertahankan kekuasaanya namun Dia ia harus terus berjalan pada koridor yang tepat dimana kepentingan rakyar harus menjadi prioritas. Dia perlu memanfaatkan tendensi kebintangannya kususnya terhadap oposisi, dimana harus cerdik melihat perangkap dan hadir bukan sebagai imagologisme di hadapan masyrakat. Namun hal ini mengharuskan seorang pemimpin menjadi garam yang siap larut namun tidak terhanyut dari terjangan dalam gaderi perpolitikan. Dia harus siap membangun dari dalam diri, hingga dia mampu membangun, bahkan membuat transformasi dalam sistem, karena seorang “maling tidak bisa meneriaki maling”, dari segi moral. Meski dalam politik itu bukan suatu hal yang mustahil namun akan cukup menambah panjang proses perjuangan yang pada akhirnya niat baik tersebut sebelas dua belas dengan pencitraan.

            Tak mudah bagi seorang penguasa untuk tetap berjalan pada koridor yang tepat, pengaruh “politik itu mahal” mengharuskan proses berujung pada bagi-bagi permen kekuasaan, tawar menawar kebijakan, hingga pemimpin boneka. Perkawinan umanitas dan animalitas secara proporsional akan menjadi vaksin dari kritisnya negeri ini. Wajahnya takkan berubah jadi otoriter atau diktator selam parameter atau kepentingan publik mejadi prioritas. Dari sudut pandang lain mungkin akan cenderung terlihat Idealis, namun konsep the art of Possibility sangat mungkin  dalam dunia politik, selama masih ada kehendak baik dari yang terpilih bagi yang memilih.

            Perspektif Nietzsche, kebertautan dualitas umanitas dan animalitas menghasilkan primas manusia. Ia lahir dari penguasaan/kesabaran dan nafsu. Dalam konteks kekuasaan akan menghasilkan kekuasaan yang total dimana terjadi proses saling mengisi dan membatasi. Inilah bonus sebuah kebinatangan ketika dikelola dengan baik yaitu menghasilkan pemerintahan yang total melalui perpaduannya dengan tendensi umanitas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cermin Retak

PANDEMI BAYANGAN

Kemerdekaan yang Terikat.