Gender Dalam Romantika, Dari Perempuan


      

        Hidup akan terus bergulir...menysurui lorong-lorong sempit, tanjakan, lembah, hinggah jurang yang memakasa manusia bertahan dan terus melangkah dengan alasan apapun. Itula hidup... indah dalam tawa juga tangisan. Pilihan terbaik adalah menikmati, sesulit apapun rasa juga tapak yang mesti kau tapik, karena semuanya akan berujung pada jejak yang pada waktunya menyisakan suka maupun duka dalam kenangan. Sejarah tak bisa diulang apa lagi dirubah, namun yang pasti memori dan momen hari ini serta masa depan akan jadi pengingat bahwa masa lalu pernah terlukis.

        Romantika adalah warna, yang memberi pembeda antara detik ini dengan detik yang lalu maupun yang akan datang. Ada perpaduan warna yang kemudian berhasil melukis kisah indah dalam pandang juga rasa, ada warna yang menyisakan perih pada mata juga rasa tak nyaman saat dipandang. Sekali lagi itulah hidup, perpaduan pahit manis yang akan menghasilkan kenikmatan  layakanya kopi dalam racikan lihai tangan-tangan pecandunya.

        Ada banyak kisah gagal juga sukses dalam romantika, tergantung pada pemeran atau malah pendesain sang kisah. Eskistensi perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial dalam hal romantika kerap menjadi polemik bagi orang-orang tertentu, khusus bagi yang betul-betul melihat sejauhmana soal keadilan terpatri. Seringkali ditemukan ketidakadilan atau lebih tepatnya ketimpangan romantika terbungkus rapi di balik kata “Cinta” atau glamor sebuah kemesrahan semu yang didesain dengan kepentingan khusus. Penulis bukan tidak mengakui soal adanya romantika atas dasar keiklasan. Namun tak bisa disangkal masih banyak sudut bumi lain yang diwarnai romantika tanpa rasa yang melahirkan bencana sosial bagi salah satu pihak.

        Ketidak adilan gender seringkali tersamar anggun di balik kemesrahan atas nama cinta. Banyak kekerasan terjadi kepada perempuan baik secara fisik maupun psikis dalam ruang-ruang privat diman kemudian sentuhan-sentuhan perubahan dianggap “Bentuk Ikut Campur atau tukang repot”. Banyak perempuan merasa nyaman dan sah-sah saja terhadap apa yang ia terima, padahal romantika itu bukan sekedar status namun Kedamaian jiwa yang kemudian berdampak positif terhadap kedua belah pihak.

        Berdasarkan catatan tahunan 2019 Komnas Perempuan, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani  dimana naik dari 348.466 kasus pada tahun 2018. Angka kekerasan dalam rana privat terdapat kekerasan dalam pacaran 2073 kasus. Pelaku kekerasan seksual tertinggi dalam rana privat adalah pacar sebanyak 1670 orang.

        Dari data yang dirilis, patut menghadirkan empati mendalam soal perempuan dalam rana sosial dan apresiasi atas hadirnya kepercyaan masyarakat akan kinerja komnas perempuan. Jumlah kasus yang terdata, cukup memprihatinakan apa lagi ketika mengingat soal urusan privat yang tak perlu diumbar. Masih banyak kasus kekerasan yang terselubung rapi dibalik budaya dan pandangan batasan urusan privat dan publik,belum lagi jika keberanian bahkan kesadaran dari korban berkaitan dengan kekerasan yang dialaminya sanagat minim. Sejauh inipun belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur kekerasan terhadap pacar.

       Pandangan turunan dari budaya matriarki yang melihat indikator perempuan yang baik adalah perempuan penurut juga setia turut menjadi penyumbang hadirnya ketimpangan gender. Pembatasan aktivitas sudah menjadi makanan ringan dalam romantika. Belum lagi jika dihubungkan dengan pelabelan perempuan rusak. Nyatanya perempuan dihargai karena eksistensinya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Posisi perempuan kerap ditekan oleh harapan merdeka dan pengakuan akan ciptaan yang baik desainan konstruksi sosial. Pada akhirnya ia memilih di zona nyaman yaitu menjadi korban bencana romantika baik dibawah kekerasan fisik maupun psikis.

        Dalam hidup, jatuh adalah wajar dan bangkit adalah keharusan. Kuadrat perempuan yang tak jarang selalu mengedepankan rasa sering kali menghantar perempuan pada Teruslah melangkah perempuan-perempuan penjawab harapan. Kepalakan tangan tuk tiap ketidak adilan, terus mengasah asah sebagai peneyeimbang rasa, pererat gandengan dalam tiap lika-liku pewarna cerita. Bersikaplah adil sejak dalam pikiran maka kemerdekaan akan ada dalam genggaman.

        Bagimu yang sedang tersungkur, “Bercak pada rupa kerap menghantarmu pulang pada penyesalan dan kepasrahan, berpulang adalah keharusan dan kembali adalah kewajiban...demi eudaimonia jiwa yang terkungkung kisah tak dirindukan”. “Just Love Your Self”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cermin Retak

PANDEMI BAYANGAN

Kemerdekaan yang Terikat.