Kuasa Raga MEMASUNG JIWA
Menjadi gadis mudah, tak membuat segalnya muda.
Dalam nilai yang mengakar pada hati dan pikiran,
membangun standar menjadi puan dalam beragam tuntut.
Menghimpit menuntut hidup dibentuk sebagaimana forma dibuat.
Setelah gelap sudah menjadi gulita, hitam sudah menjadi
kelam,
hidup bukan lagi menjadi utuh namun kepein-keping hidup yang
diremukan tanpa ampun.
Tubuh yang tadi katanya millik kita, jadi rebutan untuk
dihancurkan.
Hingga suatau waktu masa penceran itu pun datang.
Cahaya itu datang menyilau pandang,
mata yang tak biasa, tak lagi bisa sekedar menyipit apa lagi
menatap,
tak hanya bertekuk, lutut tersungkur dihadapan hidup.
Segalanya terengut tanpa ampun, putus dan pupus.
Dalam remang tatap, waktu terus bergulir,
hangat nafas memaksa tuk Kembali mengukir jejak,
mendorong tubuh tuk Kembali tegak namun Lelah mengempas tuk
Kembali tersungkur,
satu…dua…tiga…bahkan yang berbelas hinggah berpuluh
mungkin tuk keratus kalinya mencoba…
lagi dan lagi lutut itu masih teramat letih tuk Kembali
memaksa beranjak
Inilah hidup seorang perempuan muda, dalam berpuluh tahun
namun bertuan dalam setarik nafas.
Dalam sadar tuk Kembali menata, tak semuda mengedip mata.
Berjuta pandang dalam bertubi arah justru menghadir rasah
tak berarah.
Pada jiwa yang kebetulan beraga perempuan, hilir mudiak
dunia makin mengoyak jiwa.
Bagaimana tidak, ragamu tak diikat, mulutmu tak disekap,
pandangmu tak dihalang,
namun kamu terhimpit, kamu terpasung, kamu terjerat,
dalam bayang gelap di sisi terang yang gemerlap.
Pada molek tubuh perempuan mudahmu, rahamat seperti kembar
siam Bersama neraka.
Seperti anugra bersisi lainkan tragedi.
Kamu disanjung lalu dihempas tanpa ampun.
Putih hatimu menjadi jerat, mengumpan maut yang mencabik.
Yang ada, kamu adalah seonggok daging tak bertuan.
Yang lagi, karena tubuh molek perempuan mudahmu kamu tak
lagi merdeka.
Kuasa raga memasung jiwa.
Nafas yang berhembus dalam kerapuhan.
Kini hati putihmu menjadi hitam.
Jiwa meronta melepas
jerat.
Lagi dan lagi, sendi-sendimu teramat kaku tuk bergerak.
Kala jeratmu sedikit melonggar cekat, kuku kukumu bukan
mencakar langit ataupun bumi,
namun diri yang kau bawa serta kemanapun arah beranjak.
Ronta jiwa tak terbendung tanya menuai jawab, hanya menuai
luka yg kian parah.
Selain pulang dalam gelap yang paling gulita,
dalam diam yang paling mencekam,
dingin yang paling membeku nadi hingga nayawa hampir
melayang pergi,
nafas bertuan itu takkan pernah bisa Kembali.
Kehidupan yang tumbuh, hanya saat kamu terjatuh ke kedalaman
terdalam,
yang akan membuatmu Kembali kokoh dengan akar yang merobek
dan mencengkaram tanah.
Hingga pada waktunya, tunas-tunas kecil, ranting yang
tumbuh,
dahan yang beranjak ke segalah arah,
hingga inti buahmu Kembali pada bumi yang menumbuhkan
kehidupan yang lain.
Pada jiwa raga yang tercabi keserakahan dunia,
yang jatuh tersungkur namun kamu memilih hidup…
tetaplah hidup hinggah akhir jaman.
Pada harapan yang tersisa, biarkan nafas bertaut.
Berjalan…menepi…Kembali beranjak
hingga waktunya Semesta memanggil pulang pada pangkuan Sang
pemberi hidup.
Komentar
Posting Komentar